Pages

Toloooong! Saya dikoyok!

April 13, 2011

"Menuntun sepeda dengan medan seperti ini wajar kok, Ri" - Mas Angga, SPSS -

Dalam hati saya, "Iya, emang wajar, tetapi kalau kalian nggowes sepeda tanpa turun sama sekali dari bawah sampai puncak, itu yang ga wajar"

Itulah sekelumit cerita tentang hari ini. Cerita tentang nasib seorang anak yang dikoyok beberapa guru tandem, walaupun saya pikir belum bisa menyamai ilmu tandemnya Om Bayu. Cerita tragis yang sangat mengharukan yang baru saja dialami oleh seorang anak ingusan, tanpa dosa, tetapi disiksa bagai dihukum cambuk. Mungkin lebih berat lagi.


Memang salah saya juga, entah kenapa terbesit keinginan di malam sebelum saya dieksekusi untuk mengikuti acara sepedaan, dimana teman-teman kali ini menyebutnya dengan nama, PEKOK, yang merupakan singkatan dari Pit-pitan Ekstrim Koyok Ora Kalap ya kalau dalam bahasa Indonesia artinya bersepeda yang sangat tidak manusiawi, yang tidak bisa diterima dengan akal sehat. Dalam PEKOK sendiri menganut beberapa syarat yang mesti dijalankan.
  1. Nyepeda lebih dari 12 jam.
  2. Mengambil rute datar yang jauhnya minta ampun, atau yang berkontenkan "tanjakan jahanam"
  3. Nyepeda bukan untuk tujuan kesehatan yang paling utama. Trus apa? Ya buat koyok-koyokan.
What do you think about this? Kata pertama yang terbesit dalam pikiran saya adalah : gendeng. Anda pernah mencoba? Atau mau mencoba?

Saya sendiri ikut PEKOK pertama kalinya pada hari ini, 13 April 2011. Dengan bertujuan menuju Pantai Indrayanti (bener ga namanya? saya juga baru pertama kali denger nama pantai itu selama 4 tahun di Jogja). Memulai perjalanan dari kost, kemudian beranjak ke rumah Mas Wijna. Kemudian menuju Pasar Piyungan sebagai tempat kumpul.

Sempat istirahat beberapa menit, siksaan pun dimulai. Adalah hal yang sebenarnya dibenci oleh sebagian besar pesepeda, TANJAKAN. Terlebih jika dikasi embel-embel "JAHANAM". Beh!

Sumpah, hanya beberapa ratus meter, saya langsung K.O. Gimana tidak? Ini adalah kali pertama nyepeda jauh setelah hampir 2 bulan vakum di SPSS. Biasanya hanya keliling-keliling Malioboro, trus pulang lagi. Sekarang? Benar-benar siksaan! Belum makan pula. Ditambah asap knalpot dari bus atau truk yang sangat menggugah selera.

"Woi, saya butuh oksigen! Bukan Karbon Monoksida!" *

Untungnya ada sedikit biskuit yang aku beli sebelum berangkat. Lumayanlah. Tetapi, tetap saja, rasanya ingin mengibarkan bendera putih. Sementara yang lain sudah berada jauh di depan dan diatasku. Hanya Mas Wijna yang setia menyemangatiku.

"Mas, aku pulang wae ya, ga kuat je, kamu duluan aja"
"Jangan gitu lah, ayo semangat, semangat"


Seperti itulah kira-kira pembicaraan kami berdua. Ya sudah, berhubung niat menaklukkan Patuk juga masih besar, aku lanjut, walaupun harus lebih sering dituntun daripada digowes. Dan, setelah beberapa lama, akhirnya sampailah di Bukit Bintang. Tempat yang katanya romantis kalau malam, karena bisa melihat pemandangan Jogja dari atas. Disana beberapa peserta sudah menunggu. Menunggu saya. Fiuh!

"GO ION" - Pakdhetimin -

Lama beristirahat di tempat itu, sambil menghabiskan biskuit dan minum air, akhirnya perjalanan lanjut kembali. Melihat ke depan, sepertinya masa depan masih suram. Yah, dicoba dulu. Dan memang sebagai orang yang punya nafas pendek, saya pun ketinggalan jauh di belakang lagi. Dan lagi-lagi hanya ditemani oleh seorang Wijna. Jarak kali ini sepertinya memang lebih pendek, tapi tetap saja berlabel "tanjakan jahanam". Akhirnya dengan waktu tempuh yang cukup lama, sampailah di pusat ibukota kecamatan Patuk. Akhirnyaaaaaa.....

Disini kami sarapan nasi rames. Cukup lama beristirahat, ditambah ngobrol ngalur ngidul, ditambah saya yang harus minjem toilet alfamart terdekat untuk menandai daerah kekuasaan. Sekitar pukul 10 kurang kami melanjutkan lagi. Kali ini dengan medan yang lebih manusiawi, bahkan mungkin disebut surga bagi pesepeda, TURUNAN!

"Kenapa gowes diturunan pada cepet-cepet sih? Mbok yo dinikmati perjalanannya, kan tadi pas ngelewatin tanjakan lama"
"Ah, kamu doank yang lama, Ri. Yang lain mah cepet-cepet juga"
"Zzzzzzzzzzz"
Istirahat di pos polisi Bunderan Sambi Pitu *

Berhubung Yacob ada acara pukul 05.00 sore, akhirnya kami berdua memutuskan untuk tidak ikut sampai tujuan. Kami hanya sampai desa Bunder. Mungkin sedikit lagi sudah sampai Wonosari. Alhasil kami pulang dan mau tidak mau, itu artinya kami harus melewati jalan turunan yang tadi kami lewati. Yang artinya, kami harus melewati tanjakan (lagi). Tetapi untuk kali ini, saya sendiri tidak mau dikoyok. Santai. Kalau tidak kuat, ya dituntun. Untungnya juga, medan kali ini beberapa diselingi oleh jalan datar dan turunan pula. Jam 12.30 WIB kami akhirnya sampai tempat istirahat makan tadi, tapi kali ini di Alfamart, sekalian beli minuman pengganti cairan tubuh yang hilang. Apalagi kalau bukan, Pocari Sweat.

"Ingat, minum air putih saja tidak cukup" #IKLANlagiKami berdua tidak langsung pulang, melainkan malah ke tempat candi-candi di wilayah Prambanan dan sekitarnya. Kalau saya kesini, jadi teringat akan sesuatu. (IONOPOLIS, red) . Ini karena Yacob yang penasaran dengan Candi Kedulan yang sampai saat ini masih terendam air. Lewat Piyungan, kami belok kanan, dan berakhir di Candi Prambanan. Kami gowes sepeda lagi menuju Candi Plaosan, kemudian foto-foto dan akhirnya berangkat lagi menuju Candi Kedulan. Buat yang ingin tahu Candi Plaosan dan Candi Kedulan, bisa baca di sini.

Sempat makan mie ayam di daerah Candi Kedulan, kami pun lanjut pulang ke rumah masing-masing. Akhirnya sampai kost sekitar pukul 16.00 WIB. Sungguh perjalanan 10 jam atau setara dengan 80 km yang melelahkan.

*Foto by Wihikan Wijna

0 comments:

Post a Comment